Minggu, 12 Desember 2021

Sepeda Impian Rafi



Sebulan lebih Rafi mengikuti bimbingan menulis puisi. Awalnya, dia bersama tujuh belas siswa di kelasnya ikut bimbingan. Bu Liani, guru kelas enam, dikenal memberikan bimbingan tak kenal ampun. Totalitas pembimbingannya tak diragukan lagi. Jika telah masuk bimbingannya tak ada satu pun siswa berani membantah. Termasuk ikut bimbingan setiap hari sebelum jam sekolah.

            “Besuk pagi, yang serius ikut bimbingan telah hadir di sekolah pukul 06.00 ya,” yang dijawab serentak oleh peserta bimbingan, “Ya Bu Guru. Siap Bu Guru.”

Bu Liani ingin mengikutkan salah satu siswanya dalam lomba menulis atau cipta puisi tingkat kabupaten. Tak tanggung-tangung hadiahnya. Kata Bu Liani jika menjadi juara pertama akan mendapat uang pembinaan satu juta lima ratus ribu rupiah. Juara kedua mendapat uang pembinaan satu juta rupiah. Adapun juara ketiga mendapatkan uang tujuh ratus lima puluh ribu rupiah.

“Wahhhh, uang yang begitu besar nih. Bisa untuk beli sepeda baru seperti sepeda Nazia,” batin Rafi yang membarakan semangat untuk ikut lomba.

“Tapi ... kesempatan untuk ikut lomba hanya dimiliki satu orang di sekolah ini. Sementara teman-temanku banyak yang telah berkarya dan dimuat di koran lokal di daerahku.”

“Bagaimana mungkin aku bisa bersaing dengan teman-temanku yang telah lama menulis dan diajari ibunya yang juga seorang guru? Bagaimana aku punya kesempatan untuk bersaing dengan mereka?” demikian batin Rafi.

Rafi galau. Takut tak mendapat kesempatan mewakili sekolahnya maju lomba di tingkat kabupaten. Namun, ketenangan hatinya muncul saat teringat semangat “Man jadda wada (barangsiapa bersungguh-sungguh akan berhasil)” sebagaimana yang dibacanya dari buku Negeri 5 Menara karya A. Fuadi. Buku tersebut sungguh dapat mengobarkan semangatnya untuk bersungguh-sungguh.

Dari hari ke hari peserta seleksi menyusut. Berawal dari delapan belas, pekan kedua menjadi dua belas. Pekan ketiga tinggal empat siswa. Rahma, Keysha, Rafi, dan Azzahra masih berada pada posisi empat besar. Satu pekan menjelang lomba, Keysha tumbang. Dia mengundurkan diri karena merasa tak tahan uji. Dua hari kemudian Azzahra dan Rahma menyatakan berhenti dari Latihan. Tinggal Rafi seorang diri.

Meski yang dibimbing tinggal seorang, Bu Liani tetap menggebu dan menggelora semangatnya. Rafi semakin bersemangat berlatih meski tak jarang hasil karyanya dicoret dengan tinta merah. Semakin besar coretan merah pada karyanya semakin membuat Rafi penasaran dan semangat memperbaiknya.

Sebenarnya ada maksud terpendam di hati Rafi. Dia ingin ikut lomba karena tergiur hadiah besar yang ditawarkan gurunya. Sangat cukuplah untuk membeli sepeda.

Hari perlombaan cipta puisi di kabupatennya tiba. Rafi diantar Bu Liani mengendarai motor Supra X tahun 2009 menuju aula dinas Pendidikan dan Kebudayaan di kabupatennya. Waktu yang diberikan oleh paniia untuk berkarya dua jam atau 120 menit.

Tanpa melihat kanan kiri, depan belakang, Rafi menorehkan karya pada folio bergaris yang dibagikan oleh pnitia. Folio itu telah distempel agar tak ada yang menukar karya yang dibawa dari rumah. Lima menit menjelang aktu berakhir, Rafi melihat kanan kiri depan belakang. Tampaknya semua peserta telah selesai menorehkan karya.

Harapan untuk menang hampir sirna. Semua peserta telah berkarya semaksimal dia bisa. Tak ada cara lain keculai Rafi menggenapi dengan doa agar dewi fortuna berpihak kepadanya. Tak berani berharap mendapat sepeda baru dari hadiah lomba.

Sehari setelah lomba, akan diumumkan siapa saja para juaranya. Rafi pasrah. Jika dirinya menang, ini merupakan anugerah. Jika belum menang, semoga kemenangan didapat pada kesempatan berikutnya.

“Rafi ...,” begitu panggil Bu Liani saat Rafi bercengkerama dengan Rahma.

“Ya Buuu,” jawab Rafi pelan. Dadanya berdegup tak menentu. Dia ingat pembicaran bapak ibunya semalam yang mengatakan bahwa uang kontrakan rumahnya belum terbayar. Ibunya bingung akan mencari pinjaman ke mana.

“Selamat Rafi. Namamu masuk deretan para pemenang yang akan mendapat hadiah,” ujar Bu Guru Liani amat manis.

“Alhamdulillah ya Allah. Doaku telah Engkau kabulkan.”

Saat pemberian penghargaan berupa piala, penyerahan uang pembinaan yang jumlahnya cukup untuk membeli sepeda baru, Rafi telah membayangkan besuk pagi akan naik sepeda barunya. Tentunya dia akan sangat bahagia. Sepeda baru seharga satu juta lima ratus ribu rupiah. Tidak perlu nebeng teman setiap hari. Namun, harapannya berbelok arah saat mengingat pembicaraan orang tuanya semalam.

“Rafi, selamat ya. Uang sebanyak itu mau kaugunakan untuk apa?” tanya Bu Liani lembut setelah penyerahan hadiah lomba. Bu Liani asyik mengamati piala yang baru saja diberikan kepada muridnya. Juara satu tentu membuatnya bangga dan haru.

“Untuk membeli ... untuk membeli ... essss, eh untuk keberikan kepada ibu agar bisa membayar kontrakan rumah Bu Guru.”

“Ehm ... apa? Ehm ... bagus Rafi. Kau memang murid Bu Guru yang istimewa.” Sedih dan gembira hati Rafi. Sedih karena tak jadi membeli sepeda baru. Gembira karena bisa membantu orang tuanya.

 

#AiseiChallengeDesember

Solo, 12 Desember 2021