Sebulan lebih
Rafi mengikuti bimbingan menulis puisi. Awalnya, dia bersama tujuh belas siswa
di kelasnya ikut bimbingan. Bu Liani, guru kelas enam, dikenal memberikan
bimbingan tak kenal ampun. Totalitas pembimbingannya tak diragukan lagi. Jika
telah masuk bimbingannya tak ada satu pun siswa berani membantah. Termasuk ikut
bimbingan setiap hari sebelum jam sekolah.
“Besuk pagi, yang serius ikut bimbingan telah hadir di
sekolah pukul 06.00 ya,” yang dijawab serentak oleh peserta bimbingan, “Ya Bu
Guru. Siap Bu Guru.”
Bu Liani
ingin mengikutkan salah satu siswanya dalam lomba menulis atau cipta puisi tingkat
kabupaten. Tak tanggung-tangung hadiahnya. Kata Bu Liani jika menjadi juara pertama
akan mendapat uang pembinaan satu juta lima ratus ribu rupiah. Juara kedua mendapat
uang pembinaan satu juta rupiah. Adapun juara ketiga mendapatkan uang tujuh
ratus lima puluh ribu rupiah.
“Wahhhh, uang
yang begitu besar nih. Bisa untuk beli sepeda baru seperti sepeda Nazia,” batin
Rafi yang membarakan semangat untuk ikut lomba.
“Tapi ...
kesempatan untuk ikut lomba hanya dimiliki satu orang di sekolah ini. Sementara
teman-temanku banyak yang telah berkarya dan dimuat di koran lokal di daerahku.”
“Bagaimana
mungkin aku bisa bersaing dengan teman-temanku yang telah lama menulis dan
diajari ibunya yang juga seorang guru? Bagaimana aku punya kesempatan untuk
bersaing dengan mereka?” demikian batin Rafi.
Rafi galau. Takut
tak mendapat kesempatan mewakili sekolahnya maju lomba di tingkat kabupaten.
Namun, ketenangan hatinya muncul saat teringat semangat “Man jadda wada
(barangsiapa bersungguh-sungguh akan berhasil)” sebagaimana yang dibacanya dari
buku Negeri 5 Menara karya A. Fuadi. Buku tersebut sungguh dapat mengobarkan
semangatnya untuk bersungguh-sungguh.
Dari hari ke
hari peserta seleksi menyusut. Berawal dari delapan belas, pekan kedua menjadi
dua belas. Pekan ketiga tinggal empat siswa. Rahma, Keysha, Rafi, dan Azzahra
masih berada pada posisi empat besar. Satu pekan menjelang lomba, Keysha
tumbang. Dia mengundurkan diri karena merasa tak tahan uji. Dua hari kemudian Azzahra
dan Rahma menyatakan berhenti dari Latihan. Tinggal Rafi seorang diri.
Meski yang
dibimbing tinggal seorang, Bu Liani tetap menggebu dan menggelora semangatnya. Rafi
semakin bersemangat berlatih meski tak jarang hasil karyanya dicoret dengan
tinta merah. Semakin besar coretan merah pada karyanya semakin membuat Rafi
penasaran dan semangat memperbaiknya.
Sebenarnya
ada maksud terpendam di hati Rafi. Dia ingin ikut lomba karena tergiur hadiah besar
yang ditawarkan gurunya. Sangat cukuplah untuk membeli sepeda.
Hari perlombaan
cipta puisi di kabupatennya tiba. Rafi diantar Bu Liani mengendarai motor Supra
X tahun 2009 menuju aula dinas Pendidikan dan Kebudayaan di kabupatennya. Waktu
yang diberikan oleh paniia untuk berkarya dua jam atau 120 menit.
Tanpa melihat
kanan kiri, depan belakang, Rafi menorehkan karya pada folio bergaris yang
dibagikan oleh pnitia. Folio itu telah distempel agar tak ada yang menukar
karya yang dibawa dari rumah. Lima menit menjelang aktu berakhir, Rafi melihat
kanan kiri depan belakang. Tampaknya semua peserta telah selesai menorehkan
karya.
Harapan untuk
menang hampir sirna. Semua peserta telah berkarya semaksimal dia bisa. Tak ada cara
lain keculai Rafi menggenapi dengan doa agar dewi fortuna berpihak kepadanya.
Tak berani berharap mendapat sepeda baru dari hadiah lomba.
Sehari
setelah lomba, akan diumumkan siapa saja para juaranya. Rafi pasrah. Jika
dirinya menang, ini merupakan anugerah. Jika belum menang, semoga kemenangan
didapat pada kesempatan berikutnya.
“Rafi ...,”
begitu panggil Bu Liani saat Rafi bercengkerama dengan Rahma.
“Ya Buuu,”
jawab Rafi pelan. Dadanya berdegup tak menentu. Dia ingat pembicaran bapak
ibunya semalam yang mengatakan bahwa uang kontrakan rumahnya belum terbayar.
Ibunya bingung akan mencari pinjaman ke mana.
“Selamat Rafi.
Namamu masuk deretan para pemenang yang akan mendapat hadiah,” ujar Bu Guru
Liani amat manis.
“Alhamdulillah
ya Allah. Doaku telah Engkau kabulkan.”
Saat
pemberian penghargaan berupa piala, penyerahan uang pembinaan yang jumlahnya
cukup untuk membeli sepeda baru, Rafi telah membayangkan besuk pagi akan naik
sepeda barunya. Tentunya dia akan sangat bahagia. Sepeda baru seharga satu juta
lima ratus ribu rupiah. Tidak perlu nebeng teman setiap hari. Namun, harapannya
berbelok arah saat mengingat pembicaraan orang tuanya semalam.
“Rafi,
selamat ya. Uang sebanyak itu mau kaugunakan untuk apa?” tanya Bu Liani lembut
setelah penyerahan hadiah lomba. Bu Liani asyik mengamati piala yang baru saja
diberikan kepada muridnya. Juara satu tentu membuatnya bangga dan haru.
“Untuk
membeli ... untuk membeli ... essss, eh untuk keberikan kepada ibu agar bisa
membayar kontrakan rumah Bu Guru.”
“Ehm ... apa?
Ehm ... bagus Rafi. Kau memang murid Bu Guru yang istimewa.” Sedih dan gembira
hati Rafi. Sedih karena tak jadi membeli sepeda baru. Gembira karena bisa
membantu orang tuanya.
#AiseiChallengeDesember
Solo, 12 Desember
2021
Rafi anak baik, semoga nanti dapat beli sepeda baru ya Nak,sekarang untuk membantu Ibu dulu. Keren bu Ismi ... Cerpennya.
BalasHapusTerima kasih Bu Atik.
HapusKebetulan sekali teman-teman Rafi membuka jalan kemenangan. Satu orang mundur, dua orang lagi menyatakan berhenti dari latihan.
BalasHapusHe333 iya Pak Sus. Terima kasih.
HapusRafi kamu anak yang baik
BalasHapusTerima kasih Bu
HapusRafi anak yang berbakti pada orang tua...masih kecil dah mikirin kebutuhan ..siip banget Rafi. Yang nulis top markotop
BalasHapusHe333 matur nuwun Bu
HapusWah, salut sama Rafi :) patut dijadikan contoh. Self sacrifice :)
BalasHapusTerima kasih Bu
Hapus