Selasa, 02 Desember 2025

CATATAN HARIAN

 

Makamhaji, 29 Oktober 2025

           

Ketika menuliskan hal ini harus ada satu dua titik air yang luruh. Membayangkan suasana yang tak lama lagi harus kujalani. Menjalani hari-hari tanpa rutinitas yang terbentuk berpuluh tahun. Bangun pagi, mengadu pada Sang Ilahi Rabbi, menyiapkan saran pagi, dan menjalani rutinitas pagi dengan sepenuh hati.

            Dalam hitungan bulan atau hari, rutinitas akan berubah. Tak ada aktivitas pagi-pagi menyambut dan menyapa para siswa di pagi hari dengan penuh energi. Memupuk asa dan harap agar masa depan mereka terbentuk dengan apik. Membersamai aktivitas di kelas dengan hati berseri.

Semula, berharap setelah masa bakti berakhir bisa mengunjungi anak yang barangkali harus dibantu karena aktivitas karier yang melejit. Menemani cucu mengukir hari yang sementara ditinggalkan orang tua tuk mengais rejeki. Bahkan, jika diperlukan mengambil cuti dengan dalih menemani cucu yang orang tuanya berdinas dalam menambah rejeki.

Kini harapan itu serasa ruangan nan sepi. Belum terbayang apa yang berikutnya akan terjadi. Kehadiran belum tentu sesuatu yang diharap. Penemanan belum tentu  suatu pemenuhan asa.

Apa yang mejadi asa dan harap pun kini terasa gamang. Aktivitas apa yang akan kujalani setelah purna nanti juga masih belum teraba secara jelas. Asa dan harap yang kurancang dari muda, hingga dewasa, bahkan di masa tua masih remang-remang.

Semoga, apapun yang kan kujalani selalu menggapai ridlo Ilahi Rabbi. Ya Rabb, kami mohon lindungi hati kami dari sakitnya hati. Yaa Rabb, kami mohon anugerahilah keberkahan sepanjang hidup kami. Berikan jejak dan manfaat dari hidup kami.

Aamiin3

Doa yang selalu kupanjatkan

Rabbanaa hablanaa min azwaajinaa wadzurriyyatinaa qurrota a’yun waj’alnaa lilmutaqiian imaama semoga menjadi realita.

Doa untuk orang tua yang semoga tak pernah terlupa

Rabbighfirlii waliwaalidayya warhamhumaa kamaa rabbayyanii shagiira semoga dikabulkan.

 

SEMINGGU BERSAMA IBU TERCINTA

 

Air mata ini terus tergulir saat mengenang masa-masa indah bersama ibu tercinta. Ya, hanya seminggu membersamai beliau di rumah tinggal ini. Beliau sudah merasa kerasan saat harus dipulangkan dengan penuh tanda tanya. Adakah peristiwa ini menyisakan kecewa bagi dirinya? Diri ini hanya bisa merawat dalam waktu sepekan. Itu pun harus minta tolong seseorang untuk menjaga dan membersamainya.

            Meski hanya sepekan bersama beliau di rumah ini, kini kebersamaan itu terasa amat merindukan. Meski minta tolong seseorang untuk menjaganya, sebelum keberangkatan sekolah pagi hari telah kusiapkan masakan untuk sarapan pagi. Betapa bahagia saat itu bisa siapkan keperluan pagi hari meski harus bangun teramat pagi. Ada rasa bangga saat bisa membaktikan diri ini kepadanya.

            Pulang sekolah bisa menanyakan kabar, bercengkerama, dan makan bersama. Sesekali naik brio bersama beliau dan pengasuh menjadi pengalaman tak terlupa. Benar-benar pengalaman berkesan saat mengantarkan beliau untuk jalan-jalan. Dari raut wajah tergambar jelas beliau sangat bangga di samping driver yang tak lain adalah anaknya.

Di masa menjelang purnatugas, diri ini harus melakukan refleksi. Mengapa anak-anak yang seharusnya memberi perhatian kepada ibunya seolah mereka tak ada waktu lagi? Sekadar memberikan doa saat diri ini berangkat dan berada di rumah sakit pun seolah sebuah keterpaksaan yang menyita waktu kerjanya.

Aku tak menyalahkan mereka. Aku harus memakluminya. Barangkali aku kurang bisa mendidik mereka. Atau bahkan karma yang berlaku untuk diri ini karena kurang memperhatikan orang tua dulunya.

Jika lakukan refleksi, barangkali perhatianku pada orang tuaku relatif kurang. Belum pernah menjaga dalam waktu panjang. Meski diri ini berusaha setiap pekan pulang untuk menjenguk meski baru saja pulang dari rumah sakit. Namun, jika hal itu menjadikan saudaraku yang menjaga orang tuaku dirasa kurang, barangkali itu menjadi penyebab dosa bagi diriku.

Hari-hari ini harus kupenuhi dengan banyak-banyak beristighfar dan berefleksi diri. Aku tak perlu menyalahkan orang lain yang serasa kurang memperhatikan diriku. Barangkali ini tersebab diriku yang kurang memperhatikan mereka. Barangkali aku kurang memperhatikan kebutuhan anak-anakku semasa mereka kecil, kanak-kanak hingga dewasa.

Mereka merasa aku kurang memperhatikan mereka sebagaimana ibu-ibu yang lain. Yang bisa menuruti kesenangannyaa, mengajak jalan-jalan, makan yang enak-enak yang mereka inginkan. Mungkin aku terlalu berhemat untuk ukuran mereka. Barangkali karena berasal dari keluarga amat sederhana yang menyebabkan diriku berlaku demikian. Tapi bukan berarti aku menyalahkan kondisi orang tua dan cara didik mereka. Aku salut dan bangga terhadap orang tua. Dalam kebersahajaan berhasil mengantarkan keenam anaknya menjadi orang. Aku merasa tidak sebanding dengan keberhasilan orang tua. Meski beliau tak berpendidikan, namun berhasil mengantarkan keenam anaknya sukses dalam pendidikan dan berkarya.

Jika beliau masih ada, pasti diri ini akan sowan kepadanya. Memohon doa restu, memohon maaf atas semua kesalahan. Memohon resep bagaimana mendidik anak yang seharusnya. Aku “iri” pada keberhasilan beliau berdua. Doa indah untuknya semoga tak pernah terlupa dari bibir dan lubuk hati yang paling dalam. Doa agar beliau dimaafkan semua kesalahan dan doa agar beliau dikasihi Sang Pencipta sebagaimana beliau mengasihiku di kala aku masih kecil dahulu.

Barangkali aku bukan tipe ibu ideal yang diinginkan anak-anakku. Aku hanyalah seorang ibu yang mencontoh ibu dari desa yang kurang pengalaman. Seorang ibu yang belum mengenyam dunia pendidikan, apalagi mengikuti perkembangan masa kini. Meski begitu, aku selalu bangga dan bersyukur memiliki ibuku.

Aku hanyalah seorang ibu yang menerapkan didikan dengan pola tradisional. Seorang ibu yang berharap anak-anaknya menjadi insan yang berhasil, bahagia dan sukses dunia akhirat. Seorang ibu yang inginnya menerapkan pola asuh agama menjadi yang utama. Bukan seorang ibu yang bisa mengikuti perkembangan zaman dengan kemewahan.

Aku pengin menjadi seorang ibu yang anak keturunan bisa memberi perhatian. Akankah harap itu akan menjadi jika kenyataan jika mereka menganggap aku kurang perhatian kepada mereka?

 

                                                            Makamhaji, 30 Oktober 2025

                                                            Ditulis sepulang jama’ah asar di MBQ

                                                            Dengan linangan air mata

 

CATATAN HATI SEORANG IBU

 

Makamhaji, 3 September 2025

            Hari ini hanya mengajar 4 jam pelajaran saja. Sisa waktunya bisa untuk beraktivitas di rumah. Bersyukur sekali karena semester ini hanya mengajar 24 JP saja. Berbeda dengan tahun lalu yang dibebani mengajar 30 JP. Sebuah beban yang cukup berat untuk ukuran seorang pasien yang harus keluar masuk RS untuk kontrol kesehatan maupun opname secara rutin.

            Waktu itu, merasa keberatan, bahkan terbersit niat yang telah diutarakan kepada pimpinan untuk pensiun dini. Namun, setelah ditimbang dan dipikirkan, melanjutkan bekerja merupakan pilihan yang akhirnya kini kusyukuri. Waktu itu, dengan keputusan emosional sesaat menyatakan ingin pensiun dini atau pindah tempat kerja. Namun, mengingat dan menimbang beberapa masukan akhirnya kuputuskan untuk melanjutan bekerja hingga saat ini.

Hari ini, dengan beban mengajar 4 JP terasa amat ringan dan banyak waktu luang. Sejak pagi sudah kuniatkan untuk menorehkan catatan hati di lembaran ini.

Bangun tidur, setelah menyelesaikan ritual rutin pagi, sambil berjalan ke tempat mengabdi banyak merenung diri. Film masa lalu terputar dengan rapi.

Belum setahun menikah telah lahir anak pertama. Karena mengajar di dua tempat, aku hanya mengambil cuti di sekolah negeri. Tempat mengajar di sekolah swasta tak ambil cuti karena tak ada pengganti. Alhamdulillah tugas mengajar dan merawat bayi berjalan lancar tak ada halangan berarti.

Saat masa cuti habis, masih bisa beraktivitas mengajar di dua sekolah yang berbeda. Alhamdulillah diberi kemudahan dan kelancaran. Semua terasa baik-baik saja. Bantuan orang tua (ibu) yang kebetulan seorang ibu rumah tangga sangat berarti bagiku. Tak harus repot mencari pembantu. Namun, bukan berarti memperlakukan ibu sebagi seorang pembantu.

Masih terngiang jelas nasihat orang bijak, “Jika kau memperlakukan orang tuamu sebagai raja, maka rejekimu akan seperti raja. Namun, jika kau perlakukan orang tuamu sebagai pembantu, maka rejekimu sederajat dengan pembantu.”

Kalimat tersebut sangat menghunjam di pikiranku. Itu sebabnya, sebelum berangkat sekolah kami usahakan anak sudah selesai berbenah. Sudah mandi rapi dan sudah sarapan pagi.

Mengingat masa lalu sungguh mengaduk-aduk dan mengharu biru perasaanku. Ada rasa bangga dan penuh harap pada anak-anakku. Doa dan harap selalu kupupuk dan kupanjatkan pada-Nya agar diberi kemudahan untuk menggapainya. Doa yang entah dari mana kudapat ini, selalu kupanjatkan.

Allahummaj’al aulaadanaa shaalihan wa tha’atan wa ummuruhum thawiilan, warzuqhum waasi’an, wa’uquuluhum shaalihan, wajasaaduhum sihhatan wa ‘aafiyatan birahmatika yaa arhamarraahimiin.

Juga doa berikut tak terlupa.

Rabbanaa hab lanaa min azwaajinaa wa dzurriyyaatinaa qurrota a’yun waj’alnaa ilmuttaqiina imaama.

Kadang terlalu sering membaca doa tersebut sampai terlupa doa kepada orang tua. Rabbighfirlii waliwaalidayya warhamhumaa kamaa rabbayyaanii shaghiira. Bukan terlupa sama sekali, namun porsinya selalu jauh lebih kecil daripada doa untuk anak.

Peristiwa kemarin sore, saat takziah di Gatak baru tersadar kembali bahwa doa kepada kedua orang tua harus lebih diintensifkan. Jasa kedua orang tua sangat besar dalam kehidupan kita yang tak mungkin terbalaskan.

Jika meninggal seorang anak Adam, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakan kepadanya. Sang ustadz menekankan bahwa doa seorang anak kepada orang tua (untuk dikabulkan) ada prasyarat anaknya shalih dulu. Jadi, merupakan asset terindah jika kita memiliki anak shalih yang senantiasa mendoakan orang tuanya.

Terbersit harap dan angan semoga semua anak (keturunan) kami adalah anak shalih dan shalihah. Teringat pula dari sebuah taushiah bahwa doa orang tua (ibu) kepada anak sangat mudah terkabul. Entah itu doa baik maupun doa jelek. Ya Allah, jaga lisan hati kami untuk mendoakan baik (dan yang baik-baik saja) kepada semua anak keturunan kami.

 

Ada yang perlu kusyukuri saat perenungan diri ini. Shalat dzhur berjamaah di MBQ. Kulanjut dzikir panjang serta panjatkan doa untuk anak. Lagi-lagi yang teringat untuk anak.

Rabbanaa hab lanaa min azwaajinaa wa dzurriyyaatinaa qurrota a’yun waj’alnaa ilmuttaqiina imaama.

Allahummaj’al aulaadanaa shaalihan wa tha’atan wa ummuruhum thawiilan, warzuqhum waasi’an, wa’uquuluhum shaalihan, wajasaaduhum sihhatan wa ‘aafiyatan birahmatika yaa arhamarraahimiin.

Sempat kutambah pula membaca pada sujud terakhir disertai sesenggukan tak terhenti. Ada rasa mengharu biru perasaan. Ada harap dan asa agar doa dikabulkan. Pasrah sepasra-pasrahnya kepada Yang Mahakuasa. Biarkan Beliau mengatur bagaimana scenario terindahnya.

Langkah gontai pulang dari MBQ dijalani. Putaran film masa lalu kembali muncul. Ada Syukur tak terhenti, meski divonis mengidap penyakit kanker stadium empat, hingga kini masih beraktivitas seperti orang pada umumnya. Pekerjaan sekolah dapat dislesaikan dengan baik. Aktivitas harian seperti memasa, menyapu masih bisa dilakakuan. Jika menilik teman tetangga kamar saat kemoterapi aku bisa mensyukuri nikmat Ilahi ini.

 

 

Ilmu yang kudapat saat kajian tafsir Senin sore di antaranya:

Rejeki kita, kita bagi menjadi 3 porsi:

a.      Untuk memenuhi kebutuhan saat ini (sandang, papan, pangan, pendidikan, dll.)

b.      Tabungan (usahakan anak cucu kita tidak lemah dalam ekonomi)

c.      Akhirat: sedekah, wakaf, membantu orang lain, mendirikan pondok, dll.

 

Insyaallah dari dulu diri ini sudah mengeplot rejeki seperti itu. Kebutuhan hari ini, tabungan, dan akhirat. Hanya porsinya yang mungkin belum tepat benar. Kebutuhan hari ini diusahakan tidak terlalu meyita porsi amat besar. Kami menyadari bahwa awal rumah tangga benar-benar dari nol. Rumah berusaha mencicil setiap bulan, kendaraan mulai dari second, pola makan sederhana, sandang pun teramat sederhana. Meski begitu, kami berusaha untk memenuhi standar yang disarankan. Pangan tetap memperhatikan nilai gizi, sandang meski sederhana kami anggap cuup layak. Begitu pula papan. Cukup untuk tempat tinggal dengan nyaman.

Tabungan, sudah dibiasakan dari awal bekerja. Setiap mendapat rejeki, sebagiannya ditabung dan sebagian lagi harus dikeluarkan yang menjadi bagian orang lain. Seorang da’I telah mengingatkanku di awal bekerja. Berapapun hasilmu, sisihkan 2,5% untuk dikeluarkan dan diberikan kepada yang berhak menerimanya. Bismillah, semoga selalu diberi kemudahan untuk menunaikan kewajiban yang harus ditunaikan.

MENJEMPUT BERKAH DI SISA USIA


Disarikan dari taushiah Oemar Mita

 

            Majlis taklim Bunda Mengaji Jumat Munajad. Yang paling penting dalam hidup adalah berkah/barakah. Orang kaya kalau tidak barakah tidurnya tidak nyenyak, orang pinter kalau tidak barakah kadang hanya untuk minteri dan menipu orang lain. Orang kota kalau tidak barakah hanya untuk nipu orang kampung. Orang kampung kalau tidak barakah bisa jadi benci kepada orang kota atau semua orang. Semoga kita mendapat barakah Allah.

            Bersyukur atas segala nikmat. Syukur merupakan salah satu komponen penting agar husnul khatimah. Bukan hanya shalat malam, tetapi konsep syukur. Orang yang pandai bersyukur akan mendapat rahmat.

            Banyak orang mampu bersabar tapi tak mampu bersyukur. Sabar sering dilakukan karena kondisi yang mengharuskan untuk bersabar. Taat ketika banyak kenikmatan lebih sulit dibanding taat ketika banyak ujian. Gampang balik jika diuji, saat lapang sering melenakan. Lapang atau kenikmatan itu seperti gula. Melenakan. Glukosa semakin tinggi. Karena lapang, seringkali habis makan tidur, malam tidur lagi. Itu dikarenakan kelapangan atau nikmatnya banyak.

Sabar yang membuatku dekat kepada Allah lebih aku sukai daripada kelapangan/nikmat yang melenakan. Orang sering berpikir syukur itu gampang. Belum tentu. Ketika belum kaya katanya akan besyukur jika sudah kaya. Namun, belum tentu. Kelapangan itu kayak glukosa. Sering melenakan. Orang beriman itu ujiannya selalu ada. Orang beriman ujiannya banyak. Hikmah: orang beriman diuji agar tidak lupa bahwa hidup di dunia itu tidak enak. Dan ingin Kembali.

Diuji pengin kembali, ketemu Allah seperti kita naik angkot rusak, ingin cepat turun. Ada yang mengatakan, “Sudah ngaji, sudah ikut taklim tapi mengapa ujian adaaaa saja. Katanya kalau ngaji hidupnya gampang?” Itu bukan karena Allah benci pada kita. Itu dikarenakan Allah ingin orang itu tidak lupa pada akhirat.

Saat Nabi sakit dikasih pilihan. Waktu itu dakwah telah selesai. Beliau jawab Ilaa rafiqil a’la. Pengin cepat balik, ketemu Allah, ketemu nabi-nabi sebelumnya. Nabi tak ingin lihat hasil, ingin balik.

Syukur itu penting. Kadang kita lupa ketika banyak nikmat. Allah menguji kita agar kita tidak amnesia. Syukur menjanjikan kualitas, bukan kuantitas.

Istri bersyukur, suami bersyukur. Istri tahu aib suami, tapi istri tetap tersenyum walau tahu kelemahan kita. Dalam hal ini suami patut bersyukur. Begitu pula istri perlu bersyukur bahwa suami kita tetap pulang meski kita belum mampu selalu tersenyum bak bidadari.

 Konsep hidup dimulai dari bersyukur. Syukur yang menjadikan kita bahagia, bukan bahagia yang menjadikan kita syukur.

Usia

Umur 60 tahun. Yang paling menarik, woowww. Telah berjalan 60 tahun menuju Allah, sebentar lagi sampai. Percakapan sama mbah sepuh. Yang paling penting bukan umur berapa, tapi bagaimana memanfaatkan umur yang dapat diumpamakan rel perjumpaan menuju Allah. Bukan umur yang kita khawatirkan, tapi apa yang akan kita bawa? Ikhtiar merenungkan umur dan apa yang kita bawa.

Perjalanan semakin dekat. Yang sudah melewati 40 tahun maka sebenarnya alarm kematian pertama sudah diperdengarkan. Lonceng satu, tumbuh uban, keriput, mata tak jelas. Gula darah masih bisa dikoreksi, tapi umur tidak. Angka 50 tahun dua alarm diperdengarkan. Usia 60 tahun 3 alarm diperdengarkan. Sedikit sekali yang melewati angka 70 tahun yang merupakan lonceng keempat.

Kehidupan kita bukan apa yang kita tinggalkan (wariskan), tapi laporan apa yang harus kita sampaikan kepada Allah. Laporan apa? Ketika perjumpaan itu pasti. Bukan apa yang kita dapat. Berapa harta yang dikumpulkan kalau sudah lewat 40 tahun. Usia 40, 50 hasrat untuk harta masih gedhe semaput. Mereka tak mau apa yang diperoleh tak mau pindah-pindah. Fokus untuk keluarga dan dirinya. Tinggal menghitung waktu. Jelita? Apa yang dipersiapkan, apa yang kita bawa? Agar laporan diterima. Bawahan saja jika akan laporan pasti gelisah sampai laporan itu diterima.

Ada seseorang di kota kecil, pendidikan biasa, tapi pikiran langit: tinggi. Yang berpikir ke depan lebih mulia daripada orang yang berpendidikan tinggi. Namanya Mbah Jum. Tamatan SD, jualan pecel, pikirannya melampaui yang berpendidikan tinggi. Penjual, buta, berdagang selalu percaya kepada pembeli. Hikmah: “Mbah Jum apa ndak khawatir ada yang menipu?” Beliau jawab tidak khawatir. Beliau percaya kepada semua pembeli. Kalau bawa pulang uang 200 ribu, maka yang 150 ribu diinfakkan ke masjid. Kalau bawa pulang uang 300 ribu, yang 250 diinfakkan ke masjid. Karena yang dibutuhkan hanya 50 ribu. Gak mau ambil lebih dari itu.

Dari kisah tersebut kita tahu bahwa orang tinggi bukan orang yang sekolahnya tinggi, kaya raya, punya rumah mewah. Orang yang berjalan di kehidupan di dunia tapi pikirannya nyanthel ke akhirat itulah orang tinggi. Seperti Mbah Jum memandang urusannya ringan. Sisakan 50 ribu hanya untuk makan pagi dan makan sore. Ini orang yang paham. Umur bukan yang akan ditinggalkan, tapi apa yang kita bawa. Kadang kita lupa.

Yang sering terpikir adalah nanti ninggalin apa untuk anak? Bangun rumah besar tak ada yang tinggal di rumah itu. Rumah besar justru gak dipakai. Rejeki anak bukan kita yang ngatur, tapi Allah yang ngatur. Umur sudah tertentu, terbaik yang kita bawa supaya tenang.

Sebagai analogi, jika kita umroh, di kantor imigrasi, jika kita sudah bawa paspor, visa, tiket pesawat maka akan tenang. Berangkat umroh paspor tertinggal, tiket bawa pulang cucu, bingung? Ditanya petugas??? Lainnya lewat imigrasi, kita bingung bahkan saat baru ketemu petugas imigrasi.

Naik motor senior, sen kiri belok kanan. SIM, STNK??? Tokoh kunci di keluarga. Kita tak bawa apa-apa kita bingung. Allah kasih waktu untuk persiapan. Tukaran saat arisan bukan waktunya, tawar-menawar bukan waktunya.

Terus apa??? Supaya tenang? Meninggal senyum? Itu dikarenakan sesuatu telah dipersiapkan. Seperti orang tidur, tidak ketakutan. Kenapa? Karena bawa bekal yang harus dipersiapkan.

Majlis taklim, hasil karya yang diniatkan untuk-Mu, senyum dengan orang yang telah melukai. Tak bisa meninggalkan warisan??? Tak lagi bertengkar urusan duniawi. Gara-gara uang 10 ribu kadang menjadikan orang tak mau nyalatin kita. Meninggal itu butuh doa. Jangan mengurangi doa. Doa yang langsung mereka lantunkan.

Hidup itu simpel. Gampang. Gak harus terkenal. Gak usah muluk-muluk. Gak usah banyak ngomong jabatan.

Apa yang perlu dipersiapkan?

1.      Husnudzon sama Allah dan ridlo sama apapun yang kita lewati

Kalau ingat penggalan hidup yang tak enak, baca Rodhiitu billahi Rabba ….

Jangan simpan memori tidak enak. Kok saya, suaminya dia ya? Kalau bertengkar jangan sebut-sebut takdir. Allah tak pernah salah ngasih titipan dan milih pundak dalam ujian hidup. Kita perlu khawatir kalau Allah tak suka ketemu dengan kita.

Jangan sekali-kali kamu berprasangka kecuali berprasangka baik sama Allah

Bapak kelahiran 38, ibu 48. Mas Yusar lahir tahun 1967. Celebar palsy, face kaya anak-anak. Gak bisa seperti dewasa, akal seperti di bawah 3 tahun. Harus ditemani seumur hidup. Pas lahir bapak lemes, kakak tak nangis ditepuk-tepuk 15 menit baru nangis. Bisa berjalan 10 tahun kayak umur 3 tahun. Jalan pada ubin beda warna langkah hati-hati.

Anak kedua lahir tak nangis. Setengah jam baru nangis. Dijalani puluhan tahun. Jual banyak tanah untuk mengobatkan anak pertama dan kedua. Diomongin orang, salahnya apa? Padahal yang ngatur kejadian adalah Allah. Ayah keluar ICU, Pak yang ridlo ya sama Allah. Yang disebut nama anak 1 dan 2. Husnudzon sama Allah, bapak orang baik, ridlo. Orang sehat, punya penyakit. Allah terbaik: ridlo dan diucapkan.

Saad bin Abi Waqash diuji Allah, sahabat paling mustajab yang jika berdoa sebelum tangan turun sudah dikabulkan. Rumahnya ramai dikunjungi. Walinya Allah.

Melewati 55 s.d, 65 tahun diuji matanya buta. Menjelang 60 tahun buta tak pernah berdoa untuk kesembuhan matanya. Keponakan datang bilang, punya doa paling mustajab mbok berdoa.

“Nang, aku lebih ridlo takdir buta daripada meminta takdir itu diganti. Aku ridlo dengan takdir pertama daripada takdir itu diganti. Pasti takdir Allah itu baik. Hadits diucapkan 3 hari sebelum wafat, hari Jumat malam saking pentingnya. Ya Allah, saya ridlo. Saya pernah digunakan orang pernah dighibahi orang saat kampung saya ridlo ya Allah. Radhiitu billahi

Episode tak suka: banyak. Sudahlah ridlo. Ridlo, serahkan sama Allah. Yang salah kalau hati kita belum rasakan cinta sama Allah. Mau marah, kondisinya tak berubah.

Teman da’i di Pusroh (Pusat Rohani) TNI Semarang diuji anak pertama dan kedua buta. Berharap anak ketiga normal.  Anak ke-3 buta. Langsung beliau tak mau shalat, puasa Ramadhan, shalat Jumat tak jumatan. Semua ibadah ditinggal.  Pernah nemui orang yang dulu jadi jamaahnya. Kenapa kamu shalat? Minta satu anak normal? Tak diberi. Di atas langit tak ada siapa-siapa. Na’udzubillah min zalik. Disadarkan pelan-pelan. Kau tak tahu apa yang kurasakan. Tak usah ngomong tak usah komen. Kebaikan kisah: kalau marah-marah ketiga anak tak kembali normal. Kuncinya ridlo.

Kelahiran anak ketiga (Oemar Mita): tangisnya luar biasa kencang. Setelah lahir dua anak, tirakat luar biasa.

2.      Raaja’nya ditambah. Berharap. Meski dosa banyak kita punya Allah supaya tak benci pada mati. Siapapun yang senang ketemu Allah, Allah seneng pada dia Siapapun yang benci ketemu Allah, Allah benci pada dia. Ampunan Allah lebih besar daripada dosa kita.

Seorang lelaki disidang sama Allah, harusnya dapat neraka. “Bukan kayak gini yang aku prasangkakan Dirimu. Bagaimana prasangkamu? “Mengampuni dan merahmati saya.” Dari prasangka itu Allah mengampuni dan merahmati akhirnya dia masuk surga.

Kita pulang kepada Allah yang rahmat-Nya lebih besar dan mencintai kita. Jangan berpikir bahwa Allah tak bakal mengampuni, nanti benci mati. Hidupkan: Allah rahmatnya besar. Allah lebih besar ampunan-Nya, tapi jangan disalahgunakan.

Selagi muda kuatkan sifat khauf, selagi tua kuatkan raja’. Orang tua diajari raja’

Membentak suami, mengusir suami. Bertengkar di mobil. Kalau ada keluarga meninggal dunia jangan diingat-ingat dosanya. Mau meninggal dunia: sunnahnya yang diingatkan Allah Maha Pengampun, insyaallah dosa kita diampuni supaya orang tersebut tak benci mati. Insyaallah bapak orang yang amanah, sabar, tak pernah membentak, jangan sebut dosanya. Sebut kebaikannya.

Orang yang tak pernah berhenti berharap kepada Allah adalah orang yang tak pernah kecewa. Ada kisah seseorang berwasiat nanti kalau aku mati tolong dibakar, abunya disebar di tengah lautan. Kenapa kamu berwasiat dibakar, disebar abunya? Karena aku takuuut, jika Allah tak mengampuni.

3.      Banyak-banyak istiqomah berteman dengan orang shalih

Sesungguhnya semakin tua jangan menambah musuh, tambahlah teman-teman yang shalih. 40 teman yang taat kepada Allah menyalati, bisa memberi syafaat langsung. Nanti shalatin saya ya. Tak langsung. Minta boleh asal tak merepotkan.

Perbanyak saudara, baik sama tetangga, baik sama tamu, berkata yang baik dan tidak menyakiti. Jangan banyak musuh. Lebih baik ngalah sama orang.

Orang kampung yang nyalatin banyak. Minta maaf, saling meridloi supaya persaudaraan terjaga. Di kota meninggal dunia Senin sepi. Balasan doa: berkah seluruh urusan, ringan catatan dosa, berat catatan kebaikan, semoga Allah memberikan husnul khatimah, mempertemukan bapak ibu, mbah, di tempat yang jauh lebih baik, mengampuni kita, keluarga sabar menerima kita dengan seluruh kekurangan kita. Jangan bosan untuk mengunjungi orang yang memiliki ilmu.

Hidup itu simpel dan sederhana. Yang menjadikan ribet kita sendiri.