Makamhaji, 3 September 2025
Hari ini hanya mengajar 4 jam pelajaran saja. Sisa
waktunya bisa untuk beraktivitas di rumah. Bersyukur sekali karena semester ini
hanya mengajar 24 JP saja. Berbeda dengan tahun lalu yang dibebani mengajar 30
JP. Sebuah beban yang cukup berat untuk ukuran seorang pasien yang harus keluar
masuk RS untuk kontrol kesehatan maupun opname secara rutin.
Waktu itu, merasa keberatan, bahkan terbersit niat yang
telah diutarakan kepada pimpinan untuk pensiun dini. Namun, setelah ditimbang
dan dipikirkan, melanjutkan bekerja merupakan pilihan yang akhirnya kini
kusyukuri. Waktu itu, dengan keputusan emosional sesaat menyatakan ingin pensiun
dini atau pindah tempat kerja. Namun, mengingat dan menimbang beberapa masukan
akhirnya kuputuskan untuk melanjutan bekerja hingga saat ini.
Hari ini,
dengan beban mengajar 4 JP terasa amat ringan dan banyak waktu luang. Sejak
pagi sudah kuniatkan untuk menorehkan catatan hati di lembaran ini.
Bangun tidur,
setelah menyelesaikan ritual rutin pagi, sambil berjalan ke tempat mengabdi
banyak merenung diri. Film masa lalu terputar dengan rapi.
Belum setahun
menikah telah lahir anak pertama. Karena mengajar di dua tempat, aku hanya
mengambil cuti di sekolah negeri. Tempat mengajar di sekolah swasta tak ambil
cuti karena tak ada pengganti. Alhamdulillah tugas mengajar dan merawat bayi
berjalan lancar tak ada halangan berarti.
Saat masa
cuti habis, masih bisa beraktivitas mengajar di dua sekolah yang berbeda.
Alhamdulillah diberi kemudahan dan kelancaran. Semua terasa baik-baik saja.
Bantuan orang tua (ibu) yang kebetulan seorang ibu rumah tangga sangat berarti
bagiku. Tak harus repot mencari pembantu. Namun, bukan berarti memperlakukan
ibu sebagi seorang pembantu.
Masih
terngiang jelas nasihat orang bijak, “Jika kau memperlakukan orang tuamu
sebagai raja, maka rejekimu akan seperti raja. Namun, jika kau perlakukan orang
tuamu sebagai pembantu, maka rejekimu sederajat dengan pembantu.”
Kalimat
tersebut sangat menghunjam di pikiranku. Itu sebabnya, sebelum berangkat
sekolah kami usahakan anak sudah selesai berbenah. Sudah mandi rapi dan sudah
sarapan pagi.
Mengingat
masa lalu sungguh mengaduk-aduk dan mengharu biru perasaanku. Ada rasa bangga
dan penuh harap pada anak-anakku. Doa dan harap selalu kupupuk dan kupanjatkan
pada-Nya agar diberi kemudahan untuk menggapainya. Doa yang entah dari mana
kudapat ini, selalu kupanjatkan.
Allahummaj’al
aulaadanaa shaalihan wa tha’atan wa ummuruhum thawiilan, warzuqhum waasi’an,
wa’uquuluhum shaalihan, wajasaaduhum sihhatan wa ‘aafiyatan birahmatika yaa
arhamarraahimiin.
Juga doa
berikut tak terlupa.
Rabbanaa
hab lanaa min azwaajinaa wa dzurriyyaatinaa qurrota a’yun waj’alnaa
ilmuttaqiina imaama.
Kadang
terlalu sering membaca doa tersebut sampai terlupa doa kepada orang tua. Rabbighfirlii
waliwaalidayya warhamhumaa kamaa rabbayyaanii shaghiira. Bukan terlupa sama
sekali, namun porsinya selalu jauh lebih kecil daripada doa untuk anak.
Peristiwa
kemarin sore, saat takziah di Gatak baru tersadar kembali bahwa doa kepada kedua
orang tua harus lebih diintensifkan. Jasa kedua orang tua sangat besar dalam
kehidupan kita yang tak mungkin terbalaskan.
Jika
meninggal seorang anak Adam, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara:
sedekah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakan
kepadanya. Sang ustadz menekankan bahwa doa seorang anak kepada orang tua
(untuk dikabulkan) ada prasyarat anaknya shalih dulu. Jadi, merupakan asset
terindah jika kita memiliki anak shalih yang senantiasa mendoakan orang tuanya.
Terbersit
harap dan angan semoga semua anak (keturunan) kami adalah anak shalih dan
shalihah. Teringat pula dari sebuah taushiah bahwa doa orang tua (ibu) kepada
anak sangat mudah terkabul. Entah itu doa baik maupun doa jelek. Ya Allah, jaga
lisan hati kami untuk mendoakan baik (dan yang baik-baik saja) kepada semua
anak keturunan kami.
Ada yang
perlu kusyukuri saat perenungan diri ini. Shalat dzhur berjamaah di MBQ.
Kulanjut dzikir panjang serta panjatkan doa untuk anak. Lagi-lagi yang teringat
untuk anak.
Rabbanaa
hab lanaa min azwaajinaa wa dzurriyyaatinaa qurrota a’yun waj’alnaa
ilmuttaqiina imaama.
Allahummaj’al
aulaadanaa shaalihan wa tha’atan wa ummuruhum thawiilan, warzuqhum waasi’an,
wa’uquuluhum shaalihan, wajasaaduhum sihhatan wa ‘aafiyatan birahmatika yaa
arhamarraahimiin.
Sempat
kutambah pula membaca pada sujud terakhir disertai sesenggukan tak terhenti.
Ada rasa mengharu biru perasaan. Ada harap dan asa agar doa dikabulkan. Pasrah
sepasra-pasrahnya kepada Yang Mahakuasa. Biarkan Beliau mengatur bagaimana
scenario terindahnya.
Langkah
gontai pulang dari MBQ dijalani. Putaran film masa lalu kembali muncul. Ada
Syukur tak terhenti, meski divonis mengidap penyakit kanker stadium empat, hingga
kini masih beraktivitas seperti orang pada umumnya. Pekerjaan sekolah dapat
dislesaikan dengan baik. Aktivitas harian seperti memasa, menyapu masih bisa
dilakakuan. Jika menilik teman tetangga kamar saat kemoterapi aku bisa
mensyukuri nikmat Ilahi ini.
Ilmu yang
kudapat saat kajian tafsir Senin sore di antaranya:
Rejeki kita,
kita bagi menjadi 3 porsi:
a.
Untuk
memenuhi kebutuhan saat ini (sandang, papan, pangan, pendidikan, dll.)
b.
Tabungan
(usahakan anak cucu kita tidak lemah dalam ekonomi)
c.
Akhirat:
sedekah, wakaf, membantu orang lain, mendirikan pondok, dll.
Insyaallah
dari dulu diri ini sudah mengeplot rejeki seperti itu. Kebutuhan hari ini,
tabungan, dan akhirat. Hanya porsinya yang mungkin belum tepat benar. Kebutuhan
hari ini diusahakan tidak terlalu meyita porsi amat besar. Kami menyadari bahwa
awal rumah tangga benar-benar dari nol. Rumah berusaha mencicil setiap bulan,
kendaraan mulai dari second, pola makan sederhana, sandang pun teramat
sederhana. Meski begitu, kami berusaha untk memenuhi standar yang disarankan.
Pangan tetap memperhatikan nilai gizi, sandang meski sederhana kami anggap cuup
layak. Begitu pula papan. Cukup untuk tempat tinggal dengan nyaman.
Tabungan,
sudah dibiasakan dari awal bekerja. Setiap mendapat rejeki, sebagiannya ditabung
dan sebagian lagi harus dikeluarkan yang menjadi bagian orang lain. Seorang
da’I telah mengingatkanku di awal bekerja. Berapapun hasilmu, sisihkan 2,5%
untuk dikeluarkan dan diberikan kepada yang berhak menerimanya. Bismillah,
semoga selalu diberi kemudahan untuk menunaikan kewajiban yang harus
ditunaikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar