Selasa, 02 Desember 2025

CATATAN HATI SEORANG IBU

 

Makamhaji, 3 September 2025

            Hari ini hanya mengajar 4 jam pelajaran saja. Sisa waktunya bisa untuk beraktivitas di rumah. Bersyukur sekali karena semester ini hanya mengajar 24 JP saja. Berbeda dengan tahun lalu yang dibebani mengajar 30 JP. Sebuah beban yang cukup berat untuk ukuran seorang pasien yang harus keluar masuk RS untuk kontrol kesehatan maupun opname secara rutin.

            Waktu itu, merasa keberatan, bahkan terbersit niat yang telah diutarakan kepada pimpinan untuk pensiun dini. Namun, setelah ditimbang dan dipikirkan, melanjutkan bekerja merupakan pilihan yang akhirnya kini kusyukuri. Waktu itu, dengan keputusan emosional sesaat menyatakan ingin pensiun dini atau pindah tempat kerja. Namun, mengingat dan menimbang beberapa masukan akhirnya kuputuskan untuk melanjutan bekerja hingga saat ini.

Hari ini, dengan beban mengajar 4 JP terasa amat ringan dan banyak waktu luang. Sejak pagi sudah kuniatkan untuk menorehkan catatan hati di lembaran ini.

Bangun tidur, setelah menyelesaikan ritual rutin pagi, sambil berjalan ke tempat mengabdi banyak merenung diri. Film masa lalu terputar dengan rapi.

Belum setahun menikah telah lahir anak pertama. Karena mengajar di dua tempat, aku hanya mengambil cuti di sekolah negeri. Tempat mengajar di sekolah swasta tak ambil cuti karena tak ada pengganti. Alhamdulillah tugas mengajar dan merawat bayi berjalan lancar tak ada halangan berarti.

Saat masa cuti habis, masih bisa beraktivitas mengajar di dua sekolah yang berbeda. Alhamdulillah diberi kemudahan dan kelancaran. Semua terasa baik-baik saja. Bantuan orang tua (ibu) yang kebetulan seorang ibu rumah tangga sangat berarti bagiku. Tak harus repot mencari pembantu. Namun, bukan berarti memperlakukan ibu sebagi seorang pembantu.

Masih terngiang jelas nasihat orang bijak, “Jika kau memperlakukan orang tuamu sebagai raja, maka rejekimu akan seperti raja. Namun, jika kau perlakukan orang tuamu sebagai pembantu, maka rejekimu sederajat dengan pembantu.”

Kalimat tersebut sangat menghunjam di pikiranku. Itu sebabnya, sebelum berangkat sekolah kami usahakan anak sudah selesai berbenah. Sudah mandi rapi dan sudah sarapan pagi.

Mengingat masa lalu sungguh mengaduk-aduk dan mengharu biru perasaanku. Ada rasa bangga dan penuh harap pada anak-anakku. Doa dan harap selalu kupupuk dan kupanjatkan pada-Nya agar diberi kemudahan untuk menggapainya. Doa yang entah dari mana kudapat ini, selalu kupanjatkan.

Allahummaj’al aulaadanaa shaalihan wa tha’atan wa ummuruhum thawiilan, warzuqhum waasi’an, wa’uquuluhum shaalihan, wajasaaduhum sihhatan wa ‘aafiyatan birahmatika yaa arhamarraahimiin.

Juga doa berikut tak terlupa.

Rabbanaa hab lanaa min azwaajinaa wa dzurriyyaatinaa qurrota a’yun waj’alnaa ilmuttaqiina imaama.

Kadang terlalu sering membaca doa tersebut sampai terlupa doa kepada orang tua. Rabbighfirlii waliwaalidayya warhamhumaa kamaa rabbayyaanii shaghiira. Bukan terlupa sama sekali, namun porsinya selalu jauh lebih kecil daripada doa untuk anak.

Peristiwa kemarin sore, saat takziah di Gatak baru tersadar kembali bahwa doa kepada kedua orang tua harus lebih diintensifkan. Jasa kedua orang tua sangat besar dalam kehidupan kita yang tak mungkin terbalaskan.

Jika meninggal seorang anak Adam, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakan kepadanya. Sang ustadz menekankan bahwa doa seorang anak kepada orang tua (untuk dikabulkan) ada prasyarat anaknya shalih dulu. Jadi, merupakan asset terindah jika kita memiliki anak shalih yang senantiasa mendoakan orang tuanya.

Terbersit harap dan angan semoga semua anak (keturunan) kami adalah anak shalih dan shalihah. Teringat pula dari sebuah taushiah bahwa doa orang tua (ibu) kepada anak sangat mudah terkabul. Entah itu doa baik maupun doa jelek. Ya Allah, jaga lisan hati kami untuk mendoakan baik (dan yang baik-baik saja) kepada semua anak keturunan kami.

 

Ada yang perlu kusyukuri saat perenungan diri ini. Shalat dzhur berjamaah di MBQ. Kulanjut dzikir panjang serta panjatkan doa untuk anak. Lagi-lagi yang teringat untuk anak.

Rabbanaa hab lanaa min azwaajinaa wa dzurriyyaatinaa qurrota a’yun waj’alnaa ilmuttaqiina imaama.

Allahummaj’al aulaadanaa shaalihan wa tha’atan wa ummuruhum thawiilan, warzuqhum waasi’an, wa’uquuluhum shaalihan, wajasaaduhum sihhatan wa ‘aafiyatan birahmatika yaa arhamarraahimiin.

Sempat kutambah pula membaca pada sujud terakhir disertai sesenggukan tak terhenti. Ada rasa mengharu biru perasaan. Ada harap dan asa agar doa dikabulkan. Pasrah sepasra-pasrahnya kepada Yang Mahakuasa. Biarkan Beliau mengatur bagaimana scenario terindahnya.

Langkah gontai pulang dari MBQ dijalani. Putaran film masa lalu kembali muncul. Ada Syukur tak terhenti, meski divonis mengidap penyakit kanker stadium empat, hingga kini masih beraktivitas seperti orang pada umumnya. Pekerjaan sekolah dapat dislesaikan dengan baik. Aktivitas harian seperti memasa, menyapu masih bisa dilakakuan. Jika menilik teman tetangga kamar saat kemoterapi aku bisa mensyukuri nikmat Ilahi ini.

 

 

Ilmu yang kudapat saat kajian tafsir Senin sore di antaranya:

Rejeki kita, kita bagi menjadi 3 porsi:

a.      Untuk memenuhi kebutuhan saat ini (sandang, papan, pangan, pendidikan, dll.)

b.      Tabungan (usahakan anak cucu kita tidak lemah dalam ekonomi)

c.      Akhirat: sedekah, wakaf, membantu orang lain, mendirikan pondok, dll.

 

Insyaallah dari dulu diri ini sudah mengeplot rejeki seperti itu. Kebutuhan hari ini, tabungan, dan akhirat. Hanya porsinya yang mungkin belum tepat benar. Kebutuhan hari ini diusahakan tidak terlalu meyita porsi amat besar. Kami menyadari bahwa awal rumah tangga benar-benar dari nol. Rumah berusaha mencicil setiap bulan, kendaraan mulai dari second, pola makan sederhana, sandang pun teramat sederhana. Meski begitu, kami berusaha untk memenuhi standar yang disarankan. Pangan tetap memperhatikan nilai gizi, sandang meski sederhana kami anggap cuup layak. Begitu pula papan. Cukup untuk tempat tinggal dengan nyaman.

Tabungan, sudah dibiasakan dari awal bekerja. Setiap mendapat rejeki, sebagiannya ditabung dan sebagian lagi harus dikeluarkan yang menjadi bagian orang lain. Seorang da’I telah mengingatkanku di awal bekerja. Berapapun hasilmu, sisihkan 2,5% untuk dikeluarkan dan diberikan kepada yang berhak menerimanya. Bismillah, semoga selalu diberi kemudahan untuk menunaikan kewajiban yang harus ditunaikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar