Belajar dari siapa saja, di
mana saja, kapan saja itu kurasa benar. Hal ini benar-benar kurasakan
akhir-akhir ini. Belajar dari sesama teman penyintas cancer. Penyakit yang
ditakuti oleh banyak orang termasuk diri ini. Bahkan, awal-awal divonis cancer
(kanker) diri ini tak pernah menyebut nama penyakit tersebut. Selalu menyebut
ca (bentuk singkat dari cancer) untuk mengalihkan pikiran dari penyakit
tersebut.
Seiring
berjalannya waktu, diri ini mulai familier dengan nama penyakit tersebut.
Termasuk familier dengan stadium kanker. Awal diberi tahu stadium empat (karena
diri ini menanyakan langsung kepada dokter), semalam suntuk sama sekali tak
bisa tidur. Akhirnya, harus belajar untuk menerima kenyataan karena kita tak
boleh lari dan menghindar dari kenyataan.
Sebuah
perenungan ini patut kita camkan.
“Ketika orang
itu marah dengan musibah yang dideritanya, apakah dengan marahnya itu akan bisa
menghilangkan musibahnya? Ketika orang sakit itu merasa marah dengan musibah
sakitnya, Apakah dengan marah itu dia bisa cepat mendapatkan kesembuhan?
Yang terjadi
justru sebaliknya. Mereka yang marah dan tidak ridha dengan sakit yang
dideritanya, akan memperparah sakitnya. Dia sakit fisiknya dan juga sakit
perasaannya. Dia sakit dua kali, sakit lahir dan batin.”
Renungan itu
sungguh mencabik-cabik hatiku. Membuatku semakin merasa sangat kecil. Merasa
belum ada apa-apanya jika dibanding mereka yang telah mendapat ujian besar.
Abu Said ketika
bertanya kepada Rasulullah, siapakah manusia yang paling berat ujiannya dijawab
oleh Rasulullah sebagai berikut.
“Para nabi,
kemudian para ulama, kemudian orang shalih. Sungguh ada di antara mereka yang
diuji dengan kemiskinan sehingga harta yang dimiliki tinggal baju yang dia
gunakan. Ada juga yang diuji dengan kutu di rambutnya, sampai kutu itu
membunuhnya. Sungguh para nabi dan orang shalih itu lebih bangga dengan ujian
yang dideritanya, melebihi kegembiraan kalian ketika mendapat rezeki.”
Masyaallah
itu sesuatu banget bagi diriku. Sungguh-sungguh membuatku malu meski kadang
masih bergolak jiwa ngeyelku dengan berdalih. “Mereka itu kan nabi, ulama, atau
orang shaleh? Sedangkan diriku siapa?”
Astaghfirullahal’adziem. Diri ini harus ber-istighfar berkali-kali
untuk menundukkan sikap ngeyel dan terlalu banyak pertanyaan.
Adapun pada
judul kutulis “Belajar dari Sesama Pasien” memang ada yang harus kuambil
pelajaran. Pelajaran pertama dari seorang pasien yang akan melaksanakan
kemoterapi karena kanker paru stadium 3B yang dideritanya.
“Perbaikan
kondisi,” ini sebuah kalimat pendek yang diucap dokter onkologi yang berdampak pada penambahan hari dirawat
di rumah sakit. Bagi penyintas, cukup familier dengan statemen tersebut.
Artinya, pasien harus me-rescedule jika merencanakan sebuah agenda.
Termasuk diri ini.
Ibu Marla
(bukan nama sebenarnya) harus dirawat lima hari dan dipulangkan karena belum
layak kemo. Perbaikan pertama harus tranfusi karena HB di bawah 10 g/dl.
Tranfusi dua kantong sudah ditempuh dan HB naik di atas 10. Namun, masalah lain
belum tercukupi. Creatinine yang menurut rujukan 0,6 – 1,1 (mg/dl) beliau
mencapai 3.3. Apakah dampaknya? Dipulangkan pada hari kelima tanpa dilakukan
kemoterapi.
Ada cerita
yang membuat diri ini terkaget-kaget. Selama masa kemoterapi pertama hingga
kelima BB turun sampai 33 kg, dari semula 83 kg menjadi 50 kg.
Alhamdulillah
diri ini menjadi lebih bersyukur karena selama masa kemo pertama hingga ke- dua
puluh-an ini BB relatif stabil. Kalaupun turun maksimal turun 5 kg. Setelah
masa pemulihan berangsur-angsur kembali ke BB semula.
Mbak Dana
(bukan nama sebenarnya) BB turun sampai 20 kg selama satu lini kemoterapi (enam
kali). Jarak antara kemoterapi satu dan lainnya adalah tiga pekan. Bisa
dibayangkan selama delapan belas pekan turun 20 kg. Kata beliau kalau berjalan
seperti melayang. Mbak Dana memiliki TB 162 cm, BB 60 kg, 18 pekan kemudian
menjadi 40 kg. Beliau divonis cancer satu bulan setelah melangsungkan
pernikahan. Namun, semangat luar biasa dan dukungan keluarga serta kolega
menjadikannya bangkit dan kini BB sudah naik menjadi 55 kg.
Bu Nana
(bukan nama sebenarnya), usia 65 tahun akan menjalani kemoterapi ketiga. Menjelang
keberangkatan kemo ketiga hampir putus asa. Kata suaminya, Bu Nana hampir
menyerah dan tak mau melanjutkan kemoterapi. Namun, dukungan suami dan kelima
putra serta sanak keluarga bisa meluluhlantakkan putus asa Bu Nana. Beliau mau
melanjutkan kemoterapi ketiga.

Bismilllah, semoga bermanfaat
BalasHapussemangat & sehat selalu ya...KUAT
BalasHapusYa Allah, Tuhan seluruh manusia, hilangkanlah penyakit ini, sembuhkanlah, Engkau lah yang menyembuhkan, tidak ada kesembuhan melainkan kesembuhan dari-Mu, yaitu kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit
BalasHapus