Jumat, 07 November 2025

BELAJAR DARI SESAMA PASIEN




Belajar dari siapa saja, di mana saja, kapan saja itu kurasa benar. Hal ini benar-benar kurasakan akhir-akhir ini. Belajar dari sesama teman penyintas cancer. Penyakit yang ditakuti oleh banyak orang termasuk diri ini. Bahkan, awal-awal divonis cancer (kanker) diri ini tak pernah menyebut nama penyakit tersebut. Selalu menyebut ca (bentuk singkat dari cancer) untuk mengalihkan pikiran dari penyakit tersebut.

Seiring berjalannya waktu, diri ini mulai familier dengan nama penyakit tersebut. Termasuk familier dengan stadium kanker. Awal diberi tahu stadium empat (karena diri ini menanyakan langsung kepada dokter), semalam suntuk sama sekali tak bisa tidur. Akhirnya, harus belajar untuk menerima kenyataan karena kita tak boleh lari dan menghindar dari kenyataan.

Sebuah perenungan ini patut kita camkan.

“Ketika orang itu marah dengan musibah yang dideritanya, apakah dengan marahnya itu akan bisa menghilangkan musibahnya? Ketika orang sakit itu merasa marah dengan musibah sakitnya, Apakah dengan marah itu dia bisa cepat mendapatkan kesembuhan?

Yang terjadi justru sebaliknya. Mereka yang marah dan tidak ridha dengan sakit yang dideritanya, akan memperparah sakitnya. Dia sakit fisiknya dan juga sakit perasaannya. Dia sakit dua kali, sakit lahir dan batin.”

Renungan itu sungguh mencabik-cabik hatiku. Membuatku semakin merasa sangat kecil. Merasa belum ada apa-apanya jika dibanding mereka yang telah mendapat ujian besar.

Abu Said ketika bertanya kepada Rasulullah, siapakah manusia yang paling berat ujiannya dijawab oleh Rasulullah sebagai berikut.

“Para nabi, kemudian para ulama, kemudian orang shalih. Sungguh ada di antara mereka yang diuji dengan kemiskinan sehingga harta yang dimiliki tinggal baju yang dia gunakan. Ada juga yang diuji dengan kutu di rambutnya, sampai kutu itu membunuhnya. Sungguh para nabi dan orang shalih itu lebih bangga dengan ujian yang dideritanya, melebihi kegembiraan kalian ketika mendapat rezeki.”

Masyaallah itu sesuatu banget bagi diriku. Sungguh-sungguh membuatku malu meski kadang masih bergolak jiwa ngeyelku dengan berdalih. “Mereka itu kan nabi, ulama, atau orang shaleh? Sedangkan diriku siapa?”

Astaghfirullahal’adziem. Diri ini harus ber-istighfar berkali-kali untuk menundukkan sikap ngeyel dan terlalu banyak pertanyaan.

Adapun pada judul kutulis “Belajar dari Sesama Pasien” memang ada yang harus kuambil pelajaran. Pelajaran pertama dari seorang pasien yang akan melaksanakan kemoterapi karena kanker paru stadium 3B yang dideritanya.

“Perbaikan kondisi,” ini sebuah kalimat pendek yang diucap dokter onkologi  yang berdampak pada penambahan hari dirawat di rumah sakit. Bagi penyintas, cukup familier dengan statemen tersebut. Artinya, pasien harus me-rescedule jika merencanakan sebuah agenda. Termasuk diri ini.

Ibu Marla (bukan nama sebenarnya) harus dirawat lima hari dan dipulangkan karena belum layak kemo. Perbaikan pertama harus tranfusi karena HB di bawah 10 g/dl. Tranfusi dua kantong sudah ditempuh dan HB naik di atas 10. Namun, masalah lain belum tercukupi. Creatinine yang menurut rujukan 0,6 – 1,1 (mg/dl) beliau mencapai 3.3. Apakah dampaknya? Dipulangkan pada hari kelima tanpa dilakukan kemoterapi.

Ada cerita yang membuat diri ini terkaget-kaget. Selama masa kemoterapi pertama hingga kelima BB turun sampai 33 kg, dari semula 83 kg menjadi 50 kg.

Alhamdulillah diri ini menjadi lebih bersyukur karena selama masa kemo pertama hingga ke- dua puluh-an ini BB relatif stabil. Kalaupun turun maksimal turun 5 kg. Setelah masa pemulihan berangsur-angsur kembali ke BB semula.

Mbak Dana (bukan nama sebenarnya) BB turun sampai 20 kg selama satu lini kemoterapi (enam kali). Jarak antara kemoterapi satu dan lainnya adalah tiga pekan. Bisa dibayangkan selama delapan belas pekan turun 20 kg. Kata beliau kalau berjalan seperti melayang. Mbak Dana memiliki TB 162 cm, BB 60 kg, 18 pekan kemudian menjadi 40 kg. Beliau divonis cancer satu bulan setelah melangsungkan pernikahan. Namun, semangat luar biasa dan dukungan keluarga serta kolega menjadikannya bangkit dan kini BB sudah naik menjadi 55 kg.

Bu Nana (bukan nama sebenarnya), usia 65 tahun akan menjalani kemoterapi ketiga. Menjelang keberangkatan kemo ketiga hampir putus asa. Kata suaminya, Bu Nana hampir menyerah dan tak mau melanjutkan kemoterapi. Namun, dukungan suami dan kelima putra serta sanak keluarga bisa meluluhlantakkan putus asa Bu Nana. Beliau mau melanjutkan kemoterapi ketiga.

Bu Nana penderita cancer nasofaring. BB sebelum sakit 50 kg. Menjelang kemo ketiga BB menjadi 28 kg, turun 22 kg. Beliau tampaknya ingin bercerita termasuk dengan diri saya. Namun, kalimat-kalimat yang muncul susah kucerna dan kupahami, hingga jawaban paling banyak muncul dariku berupa kata ” enggih, enggih, enggih…” 


 

3 komentar:

  1. semangat & sehat selalu ya...KUAT

    BalasHapus
  2. Ya Allah, Tuhan seluruh manusia, hilangkanlah penyakit ini, sembuhkanlah, Engkau lah yang menyembuhkan, tidak ada kesembuhan melainkan kesembuhan dari-Mu, yaitu kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit

    BalasHapus