Beberapa hari
ini ada rasa waswas. Sebagai pengurang rasa waswas kemarin seharian mencari
udara segar ke Alaska. Kebetulan ada teman yang memiliki lahan di dekat Alaska
tersebut. Bersilaturahmi, berbincang, berwisata, refreshing, serta menikmati
kuliner lezat. Saat sendiri di rumah muncul lagi rasa galau. Saat galau itulah
dia hubungi pimpinan sekolah. Dia utarakan maksudnya. Antara ingin dan takut (ikut
swab). Ragu-ragu jadinya. Dia akui bahwa dirinya penakut, terutama terkait
dengan kesehatan.
Sebuah artikel terkirim di grup
keluarga. Menurut artikel tersebut virus tak dapat dihancurkan dengan meminum
berliter-liter air panas. Mencuci tangan
dan merawat jarak fisik dua meter adalah metode terbaik perlindungan.
Kebersihan adalah suatu kebajikan tetapi bukan paranoid. Udara itu bersih, kita
bisa jalan-jalan ke teman dan tempat umum, tetapi perlu menjaga jarak
perlindungan fisik.
Mengenakan masker untuk waktu yang lama mengganggu pernapasan dan kadar
oksigen. Pakai itu hanya di tengah orang banyak. Mengenakan sarung tangan juga
merupakan ide yang buruk; virus dapat terakumulasi ke dalam sarung tangan dan
mudah ditularkan jika tangan menyentuh wajah. Lebih baik cuci tangan secara teratur.
---
Artikel itu sedikit memberi rasa tenang. Namun, di sisi lain keraguan masih
bergelayut. Beberapa teman yang diswab hasilnya belum keluar. Info kluster
sekolah juga semakin banyak. SMK di kecamatannya sudah lockdown. Pasalnya ada
satu guru yang dinyatakan positif. Sebuah SMA di kecamatan sebelah juga lockdown
beberapa hari sebelumnya. Pasalnya terdapat satu warga sekolah yang positif.
Setelah dilakukan tracing, dinyatakan belasan personal terindikasi positif. (Kenapa,
kini kata “positif” jadi membuat khawatir?)
Lalu, mengapa dirinya ragu antara swab atau tidak? Dirinya pernah kontak
dengan teman yang dinyatakan positif. Namun, kontak hanya sebentar. Berdasarkan
hasil tracing, bukan suatu keharusan untuk swab. Sebenarnya dirinya lebih
bersyukur jika tak harus swab. Ada rasa takut juga untuk diswab. Takut jika
terasa sakit. Namun, rasa ingin tahu dan keinginan untuk memastikan bahwa
dirinya tak terindikasi juga cukup menghantui.
Setelah mendaftarkan diri dan berproses, dikabari petugas kesehatan bahwa
alat swabnya hari ini habis. “Alhamdulillah,” syukurnya. Sebab dia sendiri maju
mundur untuk ikut swab. Apalagi, saat kontak suami untuk mengantar dijawab “maaf
tak bisa nganter karena sedang nguji skripsi.”
Dirinya lega tak jadi ikut swab hari ini. Namun, petugas telah
mendaftarkan swab untuk besuk pagi. Waduhhh akhirnya jadi swab nih. Mohon doa
ya, semoga diri dan teman-temannya baik-baik saja. Mohon doa juga semoga
hasilnya negatif.
#Day14NovAISEIWritingChallenge
Smoga negatif Mba Ismi... setuju ttg komentar mba ismi, Kenapa, kini kata “positif” jadi membuat khawatir? Smoga kata 'positif' ini bs kembali memiliki arti yang sebenarnya ya mbaa
BalasHapus