Tema : Teaching New Generation
Host : Taufik Ramadan (Chief of Innovation Rumah
Perubahan)
Nur
Anugerah (Head of Assessment Rumah Perubahan)
Waktu : Senin, 4 Mei 2020
Pukul : 09.00 – 11.00
“Didiklah anak-anakmu
sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup bukan di zamanmu” – Ali bin Abi
Thalib. Kalimat inspiratif Ali bin Abi Thalib ratusan tahun yang lalu tak
lekang oleh zaman, tak pudar oleh waktu. Masih sesuai dengan era kini. Inilah
saatnya sang guru harus belajar menyesuaikan dengan kondisi saat ini. Materi Teaching
New Generation kerja sama PGRI dengan Rumah Perubahan sangat layak
diperhatikan.
Materi diawali Mas Taufik Ramadan
dengan statemen bahwa beda generasi, beda komunikasi. Era kakek/ nenek kita
adalah teks saya. Era bapak kita adalah telepon saya. Era kakak
kita adalah email saya. Dan era milenial adalah chat saya. Bisa
dikatakan bahwa dunia komunikasi generasi saat ini adalah chat.
Generasi tiap
zaman bisa diklasifikasikan sebagai berikut.
1.
Baby
Boomers (1946-1964)
Generasi ini bercirikan:
-
Lahir
setelah PD II
-
Perekonomian
sedang tumbuh pesat
-
Manusia
memegang kekuatan terbesar
2.
Generation
X (1965-1979), yang bercirikan:
-
Gen
Buz
-
Orang
tua Gen Z
3.
Millenials
(1980-2000), bercirikan:
-
Hidup
dengan revolusi teknologi
-
Terbiasa
dengan komputer, tablet, dan web.
4.
Generation
(2000-2010) Z, bercirikan:
-
Digital
native
-
Seluruh
kehidupannya di depan layar gadget.
Pada era generation Z ini hampir semua layanan bisa lewat gadget. Mulai
dari belanja (bisa online), komunikasi online, bertegur sapa online, pesan
makanan pun bisa online. Semua layanan dapat dilakukan secara online
menggunakan tablet, gadget atau gawai. Bahkan, siuasi pandemi ini menunut
belajar pun online.
Kepedulian sosial pun diunggah di dunia maya sehingga semua orang dapat
menyaksikan semua aktivitasnya.
Kalau ada yang mengatakan bahwa gadget dapat mendekatkan yang jauh dan
menjauhkan yang dekat tampaknya benar adanya. Bisa jadi kita berdekatan dengan
beberapa orang, tetapi justru berkomunikasi dengan orang yang berada di tepat
yang berjauhan. Bukan sekadar lintas daerah, melainkan bisa lintas negara.
Sebagaian besar kehidupan anak generattion Z bisa dilakukan di
depan laptop atau komputer. Pada saat semua harus dikerjakan di rumah mulai
dari WFH (work from home), SFH (study from home) atau PJJ
(pembelajaran jarak jauh), maupun beribadah dari rumah bagi generation Z sudah
tidak gagap lagi. Adapun bagi baby boomers maupun generati X perlu penyesuaian
yang cukup siginifikan.
Bagi generasi Z, kecepatan akses merupakan prioritas utama. Prinsip
siapa cepat dia yang dapat merupakan cocok bagi mereka. Dan bagi generasi ini
semangat berbagi (sharing) nya luar biasa. Apapun yang dilakukan bisa
dishare. Aktivitas apapun bisa dibagikan. Baik aktivitas menyedihkan maupun
menyenangkan. Mereka suka membagikan travelling, pertemuan, aktivitas sosial,
maupun kegiatan yang lainnya. Bahkan apa yang dimakan, kapan dia tidur pun bisa
dibagikan. Semangat berbaginya relatif tinggi.
Pada era generasi Z ini, apapun yang diinginkan bisa dilakukan di dunia
maya. Misalnya sesorang yang menginginginkan seorang tokoh diviralkan tinggal
diunggah di dunia maya. Berbeda dengan generasi Y atau baby boomers yang
semuanya bertumpu pada kekuatan manusia.
Pakar pendidikan Rhenald Kasali menulis sebuah buku yang berjudul “Strawberry
Generation: Mengubah Generasi Rapuh menjadi Generasi Tangguh” pantas untuk
dijadikan pelajaran. Beliau menyatakan bahwa anak-anak kita berhak keluar dari
perangkap sebagai generasi rapuh. Beliau menyatakan juga bahwa generasi X masih
ada yang gaptek. Memang tidak mudah bagi guru maupun pendidik untuk mengikuti
perubahan era generasi Z. Akan tetapi, kita bisa menjadikan kesulitan itu sebagai
energi. Energi itu seperti kita bermain game, baik game sesaat (untuk
menang-menangan) maupun game sepanjang hayat seperti kehidupan, pernikahan,
karier, profesi dan cinta.
Mbak Nur Anugerah dari Rumah Perubahan menyebut bahwa gaya atau tipe
pembelajar adalah visual, auditory, kinaesthetic, dan read/write.
Namun, seiring perkembangan zaman gaya belajar bisa menjadi lebih beragam.
Gaya belajar ada verbal, aural, visual, logical, social, solitary,
dan physical. Masing-masing gaya belajar dapat diperkuat dengan media yang
berbeda sesuai dengan variasinya. Sebagai contoh gaya visual dengan words, speech,
dan wriing. Aural dengan sound dan music. Visual dengan image
dan gambar.
Sebagai pendidik perlu mengenal membangun emotional intelegence
millenial. Ini sangat diperlukan dalam proses pendidikan. Pendidik perlu sering-sering
menanyakan kabar, menanyakan apa yang dirasakan, dan apa yang menjadikan
perasaan hadir. Ini sangat diperlukan dalam mencapai keberhasilan pendidikan. Pendidik
juga perlu mengenali suasana perasaan peserta didik. Apakah mereka berada pada
suasana marah, bosan, puas, atau sangat gembira.
Pendidik juga perlu mengubah mindset dalam pendidikan. Dari semula ‘mengejar
standar’ menjadi ‘fokus pada murid’. Dari ‘mengerjakan hal rutin’ menjadi ‘melakukan
eksplorasi’. Dari ‘hanya mengajar’ menjadi ‘mampu menjadi coach/role model’.
Dari ‘satu arah atau tidak interaktif’ menjadi ‘diskusi dan feedback
harian’. Dari ‘rapor haya berisi nilai akademik’ menjadi ‘rapor juga berisi
area perubahan’.
Selamat menyambut perubahan dengan tangan terbuka para guru. Jasamu
dinantikan umat sepanjang zaman. Uluran tanganmu menjadi penerang sepanjang
zaman. Kehadiranmu pun tak tergantikan oleh teknologi apapun. Selamat mengikui
perubahan.
“Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup bukan
di zamanmu” – Ali bin Abi Thalib.
Wah ternyata saya masuk generasi Pertama ya...Baby Boomer..masih punya kenangan kok belum ada listrik hingga SMP
BalasHapusHeee333 kasihan yaaa
HapusPerubahan. Selalu ada perubahan pada zamannya.
BalasHapusBetul Pak Bani. Sepakat.
HapusKita juga Tak lupakan akar budaya dari generasi lalu. Kita ada karena dari leluhur.dan berevolusi terus. Seiring dinamika hidup. Oke sungguh aktual untuk pembekalan keluarga. Salam kompak.
BalasHapusWooooo... keren... Memang harus ada perubahan.... Hhhh...ternyata aku masuk generasi kedua.... generation X.. sekolah masih jarang yang bersepatu, belajar pakai thinthir, sampai lulus kuliah baru ada listrik.
BalasHapusWah sippp Bu Yayuk. Jadi mengenang masa lalu. Bernostalgia ya. Selamat untuk Generasi Kedua.
HapusSalam kooak juga Pak. Betul, kita tak boleh lupakan budaya leluhur.
BalasHapusSiiip
BalasHapusTerima kasih
Hapussemoga kita mampu mengikuti perubahan yg ada
BalasHapusAamiin3
HapusGenerasi x untuk generasi z ikuti arus zaman namun jangan terbawa arus tradisi bisa di combine
BalasHapusSip Bu Tuti
HapusTak apa generasi X yang penting tak kalah dg generasi berikutnya
BalasHapusNah, ini generasi X semangat generasi Z
HapusBusmilah smg sll mmpu mnghadapi zaman yg sll berubah.. Bis mndidik anak2 kt sesuai zaman merka .
BalasHapusAamiin3
HapusSaya millenials dong bu.. hehe
BalasHapusHeeee Iya
HapusSecara umur saya masuk Gen X, tapi secara angkatan masuk bareng Millenials. Masalahnya, Millenials angkatan 80an biasanya gak mau dibilang Millenials. Hahaha. Bu Ismi selalu lengkap kalau bikin resume. Teruskan, Bu!
BalasHapusSalam,
Nadiya
Saya milenial bu...tp belajar nulis yg bagus nanti sama ibu ya hehehe
BalasHapus