Minggu, 19 April 2020

CATATAN HATI BERSAMA SANG BUAH HATI


Buku biru Omjay berjudul Catatan Harian Seorang Guru Blogger mengingatkanku pada sepenggal tulisan yang terdapat dalam sebuah buku catatanku. Perbedaan bukuku dan buku Omjay terletak pada “harian” dan “hati”. Jika buku biru Omjay berupa catatan harian, sedangkan bukuku berisi catatan hati.
Bisa dibayangkan apa saja isi catatan hati. Tentu ini berurusan dengan hati. Hati seorang bunda yang membesarkan buah hatinya. Kisah-kisah bersama sang buah hati terekam di dalamnya. Kisah sang anak yang dari TK hingga SMA memilih pendidikan di kotanya.
Bangku kuliah strata 1 ditempuh di Kota Kembang. Pernak-pernik suka duka semasa kuliah dilaporkan kepada sang bunda melalui tulisan. Permasalahan anak kos yang jauh dari kampung halaman. Suka duka bersosialisasi dengan mahasiswa berasal dari berbagai daerah berbeda.
Petualangan studi berlanjut saat sang buah hati harus meninggalkan negeri tercinta ini. Berpetualang ke negeri “si penjajah” demi memenuhi hasrat sejak kecil guna menyaksikan secara langsung Liga Eropa (Eits. Kenapa urusan studi dikaitkan dengan Liga Eropa? Di sinilah masalahnya. Salah satu motivasi studi di Eropa ingin secara langsung lihat Liga Eropa). Juga mewujudkan cita “menjadi ilmuwan” sebagaimana dituliskannya di lembar kerja Bahasa Indonesia. Ingin keliling dunia untuk membuka mata. Mata hati yang mengahuruskannya keluar dari zona aman. Keluar dari hangatnya pelukan dan belaian sang bunda sepanjang masa. Hanya dalam waktu sementara. Ini semua dilakukan demi meraih cita. “Berlelah-lelahlah. Manisnya akan kau dapatkan setelah kau lelah berjuang.” Kalimat itu yang amat menginspirasinya.
Inilah sepenggal kisah Catatan Hati Bersama Sang Buah Hati.

Kemewahan yang tertinggal
Lorong bandara international Schiphol, Amsterdam, terasa lengang saat saya melangkahkan kaki dengan tergopoh-gopoh. Dapat seat di baris belakang, ransel lumayan berat, masih capek duduk 14 jam, tanya infomodus kepada noni belanda yang duduk bersebelahan, sampai “tuntutan alami” untuk mengabaikan momen kedatangan (apanya yang alami hehe), membuat saya tertinggal puluhan langkah dibanding para bule yang jalannya ga santai.
Tapi tetep sih. Walaupun ga ada agenda mendesak, berada di belakang itu tidak menyenangkan. So, percepat langkah. Percepat langkah.
Dalam hitungan detik saya sudah tidak lagi tercecer dari barisan orang-orang yang berbondong ke antrean imigrasi. Emang harus segera menyesuaikan dengan ritme cepat dan straightforward di sini. Sebagai seseorang nan Indonesia, apalagi sebagai orang Jawa yang biasa kalem-gemulai, nambah pace nya mesti cukup ekstrem. Ibarat kendaraan, dari gear 1 langsung ke gear 4. Ahaha.
Bisa? Harus bisa.
Pelajaran kecil di pagi hari ini. Bawa ransel lumayan berat plus perut buncit juga bisa segera menyamai langkah-langkah para bule Londo yang tinggi badannya wah banget (Belanda adalah negeri dengan penduduk dengan rataan tinggi badan tertinggi di dunia). Akan banyak tantangan berat di hari-hari depan.
Tanpa kemewahan yang selama ini selalu didapat di tanah air. Kemewahan menikmati udara hangat. Di sini masih summer aja berasa dinginnya keterlaluan. Kemewahan menikmati berkendara dengan kendaraan bermotor. Ntar mesti gowes (bersepeda) ke mana-mana. Kemewahan menikmati kuliner lezat. Konon di sini kulinernya hambar, setidaknya begitu untuk harga yang tidak menggoyang kantong mahasiswa. Kemewahan mendengar adzan di seantero lingkungan. Ngarep apa ya dengar adzan.
Kemewahan apa lagi hayo?
Banyak dan akan sangat banyak kemewahan yang tertinggal. Ada jutaan kalimat untuk mengungkapkan keluhan. Tapi akan ada pula satu hal yang selalu jadi pembeda: kemauan.
**
Amsterdam, 24 Agustus 2014
*AMH*

6 komentar:

  1. Luar biasa Bu jenengan. Ke Belanda kuliah S2 apa tgs belajar bu.mhn dijwb mkdih

    BalasHapus
  2. Wah, Amsterdam.. Kalau dua dosen saya dulu di Leiden, Bu Is.. Senegara dengan Amsterdam..

    BalasHapus